Minggu, 30 November 2014

HAK MEMBENTUK KELUARGA dan MELANJUTKAN KETURUNAN MELALUI PERKAWINAN YANG SAH


BAB I

1.1  Latar Belakang
Sejak berabad-abad yang lalu manusia telah mencatat hidup dan kehidupan dengan berbagai dimensi fenomena perilakunya, sehingga melahirkan berbagai persoalan dengan sederetan pola-pola kepentingan yang sangat menajam. Sering kali berbagai kepentingan menjadi buah pertengkaran yang tak kunjung selesai.
Persoalan menjadi berat ketika sekelompok manusia dihadapkan pada persoalan penindasan penguasa atas hak-hak yang dimilikinya. Manusia cenderung melakukan perlawanan  atas hak yang semestinya. Perlawanan yang berlabelkan perjuangan tersebut kadangkala juga mengkorbankan Jiwa dan raga, oleh karenanya diperlukan sebuah kata sepakat mengenai seperangkat hak tersebut.
Telah menjadi kenyataan yang harus dibeli bahwa memperjuangkan hak seakan – akan mendapatkan legitimasi “suci” dan benar, apalagi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan sekaligus merendahkan martabat manusia.
Hal inilah yang memungkinkan sebuah bentuk penyadaran melalui pemahaman tentang hak asasi manusia. Hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah itu sangat penting dihargai dan diberikan kepada setiap orang. Perkawinan yang dilakukan tidak semata-mata hanya untuk mendapatkan suatu hak namun juga perkawinan tersebut dilakukan harus sesuai dengan perundang-undangan yang ada di indonesia yang menyakut batas-batas dan larangan dalam sebuah perkawinan.
Tuhan menciptakan manusia yang berlawanan jenis yakni pria dan wanita, atau laki dan perempuan untuk mampu memutar roda cakra kehidupan. Sehingga disatu sisi manusia berkedudukan sebagai mahkluk individu dan satu sisi lagi sebagai mahkluk sosial.
Sebagai mahkluk sosial inilah individu membutuhkan hadirnya sosok individu lain untuk merangkul kelemahan – serta kelebihannya. Proses penerimaan kekurangan dan kelebihan inilah yang didasari atas cinta akan membawakan kedua insan ini menuju kepelaminan atau sering disebut dengan pernikahan.
Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting. Dalam Catur Asrama wiwaha termasuk kedalam grehastha asrama. Disamping itu di dalam agama hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia seperti dijelaskan dalam kita Manawa Dharmasasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.
Sebab pernikahan adalah sebuah kewajiban dalam persefektif agama Hindu, sekirannya setiap individu mesti tahu dan paham tentang kiat – kiat sebelum melangsungkan pernikahan agar mampu mewujudkan bagaimana seorang ayah, dan bagaimana seorang ibu serta yang terpenting bagaimana memelihara anak.
Keberhasilan akan nampak dalam wiwaha atau perkawinan di antaranya adalah saling mencintai, bekerja sama, saling mengisi dan bahu menbahu dalam setiap kegiatan rumah tangga.
Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dimana hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus seimbang dan sama meskipun swadharmanya berbeda dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Pada kali ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian, tujuan, hakikat, pelaksanaan dan sistem wiwaha dan syarat – syarat wiwaha.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian perkawinan ?
2.      Bagaimana perkawinan dalam persepektif Agama Hindu ?
3.      Bagaimana perceraian dan hak asuh anak menurut umat Hindu ?

1.3  Landasan Teori
  1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1  dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.  
2.      Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut:
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
  1. Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).    
  2. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
  3. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4). 
  4. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala  niskala  (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
        Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:   pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.




BAB II

3.1    Pengertian Perkawinan
Mengenai definisi perkawinan menurut Undang – undang no 1 tahun 1974 pasal 1 disebutkan “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama.
Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi hubungan badan, akan tetapi lebih daripada itu.

3.2    Pernikahan atau Pawiwahan dalam persepentif Agama Hindu

a.    Pengertian Pawiwahan dalam Agama hindu
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata   pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata  wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seorang untuk mempunyai keturuan dan menebus dosa – dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang anak suputra. Putra dalam bahasa sanskerta diartikan sebagai ia yang menyebrangan atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
Perkawinan atau sering disebut di Bali wiwaha selalu identik dengan upacara yadnya, yang menyebabkan lembaga perkawinan tidak dapat terpisahkan dengan lembaga agama. Sehingga menjadikannya sebagai hukum Hindu dan sebuah persyaratan.

Legalnya perkawinan adalah ditandai dengan pelaksanaan ritual yakni upacara wiwaha minimal upacara byakala.

Suatu perkawinan dianggap sah apabila ada saksi. Dalam upacara perkawinan (byakala) disebut sebagai tri upasaksi (tiga saksi) yaitu dewa saksi, manusa saksi dan bhuta saksi. Dewa saksi adalah saksi dewa yang dimohonkan untuk meyaksikan upacara pawiwahan.

Manusa saksi adalah saksi manusia, dalam hal ini semua orang yag hadir pada saat pelaksanaan upacara utamanya, seperti pemangku, dan perangkat Desa (bendesa adat, kelihan dinas, dsb). Bhuta saksi adalah saksi para bhuta kala. Pada saat dilaksanakannya upacara byakala kita membakar tetimpug (berupa potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbu Bhuta kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhandengan harapan tidak mengganggu jalannya upacara bahkan ikut mengaja keamanan secara niskala serta ikut sebagai saksi.
Pada umumnya Undang – undang secara prinsip mengandung asas –asas yang dapat membawakan kepada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga yakni :
1)        Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – udangan yang berlaku.
2)        Undang – undang mengandung asas monogami.
3)        Pasangan suam istri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan.
4)        Undang – undang ini menganut prinsip untuk mempersukar perceraian.
5)        Hak dan kedudukan suami – istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat diatur dalam undang – undang no 1 tahun 1974.
b.   Tujuan Perkawinan
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama  untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur akan dapat dilakukan oleh keturunannya.


Tujuan utama dapat pertama dalam wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat kepada orang tuanya, cinta kasih terhadap sesama dan berbhakti kepada tuhan.
Dalam Nitisastra dijelaskan bahwa :
 orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dengan membuat satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak suputra. Demikian keutamaan anak suputra”.
Menurut I Made Titib dalam makalah “ Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1.    Dharmasampati
Kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña  dapat dilaksanakan secara sempurna.
2.    Praja
Kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña  dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
3.    Rati
Kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.     

      Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.

“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).



Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“ Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan  wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
Dalam kehidupan berumah tangga adapun kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu :
1)   Melanjutkan keturunan
2)   Membina rumah tangga
3)   Bermasyarakat
4)   Melaksanakan panca yadnya




c.    Hakihat Perkawinan
Pawiwahan dalam agama hindu adalah yadnya sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menuju Grehasta Asrama merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya.
Di dalam Grehasta inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan, yakni memenuhi :
1)      Dharma yakni aturan – aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman pada Dharma Agama dan Dharma Negara.
2)      Artha yakni segala kebutuhan hidup berumah tangga berupa material dan pengetahuan.
3)      Kama yakni rasa kenikmatan atau kebahagiaan hidup yang diwujudkan dalam berumah tangga.

d.   Syarat dan Sahnya Perkawinan
System  perkawinan di Indonesia  dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil.
Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbunyi;“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi
Hal tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah.
Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka  syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
1.    Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada  persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua.  Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:                                                                                              
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”

“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).

2.      Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
      Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan  dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya.
Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
1.    Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

2.    Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
      Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra  II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Selain itu suatu pawiwahan dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat yang diselenggarakan dalam ajaran agama hindu, adapun ajarannya adalah sebagai berikut :
1)        Pawiwahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu
2)        Untuk mengesahkan pawiwahan menurut hukum hindu harus dilakukan oleh pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakan upacara ini
3)        Suatu pawiwahan dikatakan sah apabila kedua mempelai menganut kepercayaan yang sama
4)        Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pawiwahan dikatakan sah apabila telah melaksanakan upacara byakala atau biokaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha
5)        Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan
6)        Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), sakit jiwa atau sehat secara jasmani dan rohani
7)        Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun
8)        Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah atau sepinda

Selain itu juga agar pawiwahan dianggap sah maka harus dibuatkan akta pernikahan sesuai dengan undang – undang yang berlaku. Orang yang berwenang melaksanakan upacara pawiwahan adalah pendeta yang memiliki status Loka Pala Sraya. Demikian juga cara pengajuan pembatalan pawiwahan menurut pasal 23 bab IV undang – undang no 1 tahun1974 sebagai berikut :
1.    Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
2.    Suami atau istri
3.    Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
4.    Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 undang – undang no 1 tahun 1974 dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara.


Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa.
Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”
( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).

      Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani.
Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan  syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1)   Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.

2)   Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.

3)   Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).

4)   Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña  harus diyakini kebenarannya. Yajña  tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.

5)    Lascarya artinya suatu yajña  yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6)   Sastra artinya suatu yajña  harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña  disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.

7)   Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8)   Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña  harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9)   Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña  hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.


10)              Nasmita artinya suatu upacara yajña  hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

e.    Sistem Perkawinan Hindu
Sistem pawiwahan adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. Menurut Dharmasastra ada delapan sistem perkawinan yakni :
1)        Brahma wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli weda dan berperilaku baik setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita (Manawa Dharmasastra III.27)
2)        Daiwa wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa (Manawa Dharmasastra III.28)
3)        Arsa wiwaha, adalah perkawinan yang dilakukan setelah wanita mengikuti aturan yakni menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak mempelai laki – laki (Manawa Dharmasastra III.29)
4)        Prajapati wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan kepada pengantin pria (Manawa Dharmasastra III.30).
5)        Asura wiwaha,  adalah bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki (Manawa Dharmasastra III.31)
6)        Gandharwa wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara kedua mempelai (Manawa Dharmasastra III.32)
7)        Raksasa wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik wanita dengan kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33)
8)        Paisaca wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan membuat bingung atau mabuk (Manawa Dharmasastra III.34)
Dari delapan bentuk perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang dalam kehidupan baik oleh hukum agama atau hukum negara yaitu sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem yaitu :
a.    Sistem mapadik atau meminang,  pihak calon serta keluarga memepelai laki – laki datang ke rumah calon mempelai wanita untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telasa saling mengena da ada kesepakatan untuk hidup berumah tangga. Inilah sistem yang dianggap paling terhormat
b.    Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka dengan pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu orang tua dari mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari
c.    Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan pria berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki – laki tinggal di rumah mempelai wanita.
d.   Sistem melegandang, bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta.

Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari Undang – undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campurang antara mereka yang berbeda warga negara dan agama. Menurut Ordenansi perkawinan campuran maka hukum agama si suami yang harus diikuti.




Berhubungan dengan hal itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha tersebut kepada pihak wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara tersebut dilaksanakan.

f.     Perkawinan Yang Dilarang
Pawiwahan dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara hukum dan agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama.

Selain itu pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan kekerasan. Misalnya,  mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa yang disengaja dalam perkawinan maka pelaku dapat dikenakan sanksi.
Menurut dharmasastra pencegahan dilakukan apabila ada indikasi perkawinan sapinda.menurut undang – undang no 1 tahun 1974 suatu perkawinan dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya sebagai berikut :
1)        Bertentangan dengan hukum agama
2)        Calon masih terikat dengan perkawinan atau tidak single
3)        Bila clon suami atau istri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu.
4)        Perkawinan yang masih ada hubungan darah
5)        Apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu


g.    Tata Pelaksanaan Perkawinan Hindu Di Bali
Perkawinan menurut Hindu di Bali dari ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkat yaitu kecil/nista, sedang/madya dan besar/utama. Namun perlu digaris bawahi dalam perkawinan ada upacara pembersihan terhadap kedua mempelai yakni sukla (sperma) swanita (ovum) sehingga mampu membentuk embrio yang bersih atau disebut manik.
Hubungan seks yang tidak didahului dengan upacara pabyakalaan atau disebut kama keparagan  atau MBA (married by accindent) akan menghasilkan rare dia-diu atau rare bebinjat. Adapun pelaksanan upacara perkawinan secara rinci sebagai berikut :

1.    Tata Urutan Upacara
a)        Penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah sebagai simbol untuk meleyapkan unsur – unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya upacara
b)        Mabyakala adalah upacara pembersihan secara lahir batin terhadap kedua mempelai terutama sukla swanita yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi jani yang suputra
c)        Mepejati atau pesaksian adalah upacara kesksiaan tentang pengesahan perkawinan kehadapa Ida Hyang Widhi dan masyarakat bahwa kedua mempelai telah meningkatkan diri sebagai suami istri.

2.    Sarana Upakara
Jenis upakara yang digunakan upacara ini secara sederhana rinciannya sebagai berikut :
a)        Banten pemagpag, segehan dan tummpeng dadahan
b)        Banten pesaksi, pradaksina dan ajuman
c)        Banten untuk mempelai byakala, banten kurenan dan pengulapan pengambean


Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti :
a)      Tikeh dadakan,adalah tikar kecil yang terbuat dari pandan hijau yang mengadung simbol kesucian si gadis
b)      Papegatan, berupa dua buah canang, dapdap yang ditancapkan di tempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan  dengan benang putih dalam keadaan terentang
c)      Tetimpug, beberapa pohon bambu kecil yang masih muda yang ada ruasnya sebanyak lima atau tujuh ruas
d)     Sok dagang, yaitu sebuah wakul yang berisi buah – buahan, rempah – rempah dan keladi
e)      Kala sepetan, disombolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dapdap. Kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang menerima pakala – kalaan
f)       Tegen – tegenan, yaitu batang tebu dan dapdap yang kedua ujungnya berisi gantungan bingkisan nasi dan uang.

3.    Jalannya Upacara
a)      Upacara penyambutan kedua mempelai
Begitu mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan. Kemudian kedua mempelai dududk ke tempat yang telah disediakan untuk menunggu upacara selanjutnya.
b)     Upacara Mabyakala
Pertama dilaksanakan upacara puji astuti oleh pemimpin upacara. Selanjutnya membakar api tatipug sampai berbunyi sebagai sebuah simbol pemberitahuan kepada bhuta kala yang akan menerima pekala – kalaan. Kedua mempelai melangkahi sebanyak tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pebyakalaan. Kedua tangan mempelai dibersihkan dengan senggau tepung tawar, kemudian natab pabyakalaan. Selanjutnya masing – masing ibu jari kaki kedua mempelai disentuhkan ke telur ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian upacara penglukatan. Selanjutnya mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut murwa daksina. Saat berjalan, mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok dandangan (simbol menggendong anak) dan pria memikul tegen – tegenan (simbol bekerja keras untuk mencari nafkah). Setiap melewati kala sepetan, ibu jari kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul lambang kala sepetan.
c)      Upacara Mepejati atau pesaksiaan
Dalam upacara pesaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Kemudian, kedua mempelai diperciki tirtapembersih oleh pemimpin upacara. Lalu nantab banten widi widhana dan mejaya – jaya. Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan samskara wiwaha. Terakhir penandatangnan surat perkawinan oleh kedua pihak dihadapana saksi dan pejabat yang berwenang.

Kasus perceraian diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, ada masalah di balik aturan hukum positif terutama ketentuan yang mengatur masalah perceraian ini. Reaksi kritis disulut para pemangku masyarakat adat di Bali. UU ini dinilai tidak mengakomodir keseimbangan penghargaan terhadap eksistensi Hukum Adat Bali dan Agama Hindu.
Aturan ini menegaskan bahwa perceraian sah setelah ada keputusan dari pengadilan. Tetapi, ketentuan ini tidak menyertakan peran Hukum Adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya dialami oleh warga yang tertimpa musibah perceraian. Walau keputusan pengadilan mengesahkan gugatan perceraiannya, tetapi tidak diketahui sebagian besar krama desa dan tidak segera dapat diketahui prajuru desa pakraman.
Forum Pesamuhan Agung ke-3 Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berlangsung 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Bali mengeluarkan sikap kristisnya. Selain merespons bentuk perkawinan biasa, nyentana, dan pada gelahang, juga masalah upacara patiwangi dalam perkawinan beda wangsa, forum ini juga merumuskan pernyataan sikap atas ketentuan UU Perkawinan tersebut.
Berikut isi rumusan selengkapnya. Hukum Adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). 
Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali, sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. 
Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu  bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut Hukum Adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan  Agama Hindu.
Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali,  agama Hindu,  sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian tersebut, tampak jelas Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada Hukum Adat Bali dan Agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum Adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian.
Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada keputusan pengadilan, tanpa menyebut peran Hukum Adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan keputusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman.
Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan Hukum Adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.

Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan pasangan suami istri  yang akan melangsungkan perceraian harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian, terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
Selain itu, ada penyampaian salinan  keputusan perceraian atau akta perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan ajaran Agama Hindu.
Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut Hukum Nasional dan Hukum Adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman setelah perceraian.
Selain itu, ada akibat hukum jika terjadi perceraian suami - istri. Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

Hak Asuh Anak Setelah dalam Kasus Perceraian
Hak asuh anak merupakan permasalahan yang sering muncul pada pasangan yang bercerai. Hak asuh anak seringkali menjadi hal yang sulit diputuskan oleh pengadilan yaitu pada siapa anak ini akan dibesarkan, ayah atau ibunya.
Perceraian dalam Hindu merupakan kasus yang hampir dilarang, apalagi bila diajukan oleh sang istri. Sebab dalam Hindu hanya memberikan sedikit hak pada wanita. Sementara itu, hak asuh anak dalam Agama Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di negara tersebut.
Kebanyakan, seperti hak asuh anak diberikan kepada salah satu pihak orang tua yang mampu menjamin kesejahteraan sang anak. Kesejahteraan itu meliput mencukupi kebutuhan fisik dan moral, serta kasih sayang. Adapula negara yang menambahkan beberapa aturan, misalnya di India, seperti: anak - anak diasuh oleh ibunya, anak perempuan yang beranjak dewasa diasuh oleh ibunya, sementara anak laki-laki yang di atas 16 tahun berhak memilih akan tinggal dengan siapa nantinya.
Sementara itu, jika seorang ibu diketahui telah menelantarkan anaknya dengan disengaja maupun tidak, atau keberatan merawat si anak, maka hak asuh terhadap anaknya akan dicabut dan diurus kembali ke pengadilan.
Jika kedua orang tua tidak ada yang sanggup memenuhi kebutuhan sang anak atau berkeberatan, maka pihak ketiga boleh mengambil hak asuh tersebut. Pihak ketiga boleh berasal dari kakek/nenek, atau saudara yang lain selama mereka mampu menjamin kesejahteraan sang anak.






BAB III
PENUTUP

3.1    Simpulan

3.1.1        Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu simpulan, bahwa perkawinan itu adalah sebuah janji suci untuk menjalani hidup bersama baik suka ataupun duka. Dalam agama hindu pernikahan itu adalah sebuah kewajiban untuk melangsungkan keturunan dengan melahirkan keturunan inilah sekiranya, anak suputra ini mampu menyebrangkan orang tuanya dari lumpur dosa sehingga orang tuanya masuk surga.

3.1.2        Dapat disimpulkan pula bahwa tujuan  wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa). Ada beberapa kiat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan pernikahan seperti adanya persetujuan dari kedua calon mempelai, cukup umur, siap secara fisik dan mental. Setelah memenuhi persyatan baik secara hukum dan agama maka kedua calon siap untuk melangsungkan pernikahan.
Pawiwahan dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara hukum dan agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama.

Selain itu pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan kekerasan. Misalnya,  mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa yang disengaja dalam perkawinan maka pelaku dapat dikenakan sanksi.

Pernikahan dalam perseptif agama Hindu yang kental dengan tradisi upacara menggunakan bebanten yang penuh dengan makna, dan sekiranya pernikahan masih tergolong manusia yadnya dan merupakan upacara yang terakhir dalam manusia yadnya hingga akhirnya memasuki jenjang kehidupan yang disebut Grehasta Asrama.
Selain melangsungkan upacara pernikahan, pernikahan dianggap sah apabila, hadir tri upasaksi yakni saksi dari Tuhan, Manusia, dan bhuta kala.


3.1.3        Sementara itu, perceraian dalam Hindu, selain berdasarkan keputusan pengadilan, keputusan dari Hukum Adat Bali juga berperan penting dalam mengesahkan perceraian itu. Dalam proses perceraian, pasangan yang akan bercerai harus menyelesaikan perceraian secara adat dahulu, baru kemudian dapat mengajukannya ke pengadilan untuk mendapat keputusan. Sedangkan  hak asuh anak dalam Agama Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di negara yang bersangkutan.









3.2    Saran- saran
a.       Untuk masyarakat
Sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dengan matang,dimana perkawinan tersebut harus sesuai dengan syarat syarat yang telah ditentukan, mendapatkan restu dari orang tua dan dijalankan sesuai dengan urutan upacara yang benar agar mendapatkan perkawinan yang sah serta di saksikan oleh 3 unsur saksi seperti yang telah disebutkan. Sebagai saran sebaiknya perkawinan itu dilaksanakan dengan sistem memandik atau meminang karena sistem ini dilaksanakan dengan cara terhormat.
 Agar tidak sampai terjadi adanya perceraian. Dan apabila terpaksa menggunakan jalur perceraian, hendaknya memikirkan dampak baik dan buruknya terhadap hubungan Anda, keluarga, diri sendiri, dan mental anak (jika sudah punya anak).






DAFTAR PUSTAKA

http://dharmavada.wordpress.com/2009/07/28/idealnya-perkawinan-hindu/
Senin, 13 Oktober 2014 jam 08. 25 Pm
Senin, 13 Oktober 2014 jam 08. 43 Pm
Senin, 13 Oktober 2014 jam 08. 55 Pm
Senin, 13 Oktober 2014 jam 09. 13 Pm
 Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta : Ganesa Exact

 





1 komentar: